Wed. Dec 4th, 2024

PesisirNasional.com – Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menjelaskan bahwa Putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah suatu hal yang berbeda dengan rekomendasi maladministrasi dari Ombudsman RI. Atau temuan dugaan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM.

Pernyataan itu terkait dengan dasar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tetap ngotot memecat 57 pegawai KPK yang tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan/TWK pada 30 September 2021. Salah satunya merujuk pada putusan MA dab MK.

“Jadi dua hal yang berbeda putusan MA dan MK tidak akan bertabrakan dengan rekomendasi dari Komnas HAM dan Ombudsman RI,” kata Feri kepada merdeka.com, Jumat (17/9).

Dia menjelaskan, keputusan MA dan MK terkait keabsahaan penyelengaraan TWK yang telah sesuai kewenangan KPK. Sedangkan rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM menduga terkait dugaan penyelewenangan dalam penyelenggaraan TWK.

Sehingga, polemik TWK, dia mempersoalkan prosedur penyelenggaran yang dianggap tidak sesuai dengan Undang-undang No 30 Tahun 2014 yang pada kewenangannya pejabat negara atau badan tata usaha negara tidak boleh melakukan tindakan sewenang-wenang.

“Tidak boleh sewenang-wenang. Nah di titik inilah pelanggaran, karena kesewenang-wenangan proses penyelenggaran bertentangan dengan HAM dan cacat administrasi karena tidak terbuka, segala macem. Sebagaimana ditemukan Ombudsman dan Komnas HAM,” katanya

Dia memandang Presiden Joko Widodo selaku kepala negara seharusnya menegakkan HAM dan menertibkan proses penyelenggraan TWK sesuai asas umum penyelenggaraan negara yang baik.

Sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 UU 30 Tahun 2014, penyelenggara negara harus meliputi asas; a.kepastian; hukum; b.kemanfaatan; c.ketidakberpihakan; d.kecermatan; e.tidak menyalahgunakan kewenangan; f.keterbukaan; g.kepentingan umum; dan h.pelayanan yang baik.

“Jadi tidak ada masalah menjalani putusan MA ataupun MK, tetapi harus juga menghormati rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman RI yang kemudian mereview proses penyelenggaraan. Sementara MA dan MK mereview ketentuan peraturan perundangan-undangannya,” jelasnya.

Feri menambahkan suatu hal yang wajar ketika seluruh pihak menagih sikap presiden terhadap masalah TWK pegawai KPK. Karena PP No 40 Tahun 2020 terkait alih status Pegawai KPK serta PP No 17 Tahun 2020 soal Manajemen Pegawai Negeri Sipil Presiden lah yang berwenang mengangkat PNS.

“Artinya ya, kalau problematika berkaitan status PNS ya memang ujungnya ada di Presiden,” ujarnya.

Sebelumnya, 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) akan dipecat pada 30 September 2021. Hal tersebut diungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (15/9) hari ini.

“Memberhentikan dengan hormat kepada 51 orang pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat per tanggal 30 September 2021,” ujar Alex saat jumpa pers seperti dikutip dalam chanel youtube KPK.

Alex menyebut jika 51 pegawai itu merupakan pegawai yang mendapat rapor merah dalam TWK. Sementara 6 lainnya adalah mereka yang tak bersedia mengikuti pendidikan dan pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan.

Sementara, Alex mengatakan, terhadap 18 pegawai nonaktif yang telah mengikuti diklat bela negara dan dinyatakan lulus menjadi ASN bakal segera dilantik dan diangkat secara resmi.

“KPK akan mengangkat dan melantik 18 pegawai KPK yang telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan,” kata dia.

Kemudian, untuk tiga orang pegawai yang baru menyelesaikan tugas luar negeri, KPK memberikan kesempatan untuk mengikuti TWK susulan. Ketiga orang tersebut akan mengikuti TWK pada 20 September 2021.

“Memberi kesempatan kepada tiga orang pegawai KPK yang baru menyelesaikan tugas dari luar negeri untuk mengikuti asesmen tes wawasan kebangsaan yang akan dimulai 20 September 2021,” kata dia. [ray]

Sumber: Merdeka