Pesisirnasional.com|Pekanbaru – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah hal yang paling ditakuti oleh pekerja akan tetapi sangat lazim dan sering ditemui di Indonesia. Apa pun penyebab berakhirnya hubungan kerja antara perusahaan dan pekerjanya disebut dengan PHK. Hal ini juga telah terjadi antara EX Karyawan PT.Asia Forestama Raya Melawan PT.AFR. Sebagaimana informasi yang diterima tim jurnalis melalui kontak WA Kuasa hukum karyawan NBS & Partners Law Firm Pimpinan Nofriyansyah,SH.,C.Med di Pekanbaru siang ini Rabu (24/04/2024).
Dalam aturan perburuhan, alasan yang mendasari PHK dapat ditemukan dalam pasal 154A ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) jo. Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2021) dan peraturan pelaksananya yakni pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021).
Ketentuan dalam aturan perburuhan Nasional pada prinsipnya mengenai PHK menyatakan bahwa berbagai pihak dalam hal ini pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK (pasal 151 ayat (1) UU 13/2003 jo. pasal 37 ayat (1) PP 35/2021)
Instrumen hukum perburuhan internasional juga mengakui perlindungan dari PHK yang sewenang-wenang. Konvensi ILO No. 158 tahun 1982 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, menyebutkan hal-hal yang harus diperhatikan pada tindakan PHK, yakni:
Pada dasarnya mengenai PHK harus dilakukan sehati-hati mungkin karena keputusan PHK terhadap pekerja berpengaruh pada anggota keluarga (yang menjadi tanggungan pekerja). Oleh karena efek sosial PHK berdampak sangat luas bagi kehidupan pekerja dan keluarganya, maka diperlukan prinsip kehati-hatian.
Seorang pekerja tidak dapat diputus hubungan kerjanya kecuali ada alasan yang sah untuk pemutusan tersebut dan diatur dalam perundang-undangan masing-masing Negara.
Selain itu masing-masing Negara harus mengatur pula aturan PHK yang mencakup prosedur dalam melakukan PHK, alasan PHK, dan kompensasi yang berhak diterima pekerja menurut jenis alasan PHK yang dijatuhkan.
Apa yang terjadi saat ini perusahaan melakukan PHK sepihak tanpa pemberitahuan dan hak-hak karyawan, apa lagi terhadap karyawan yang sudah bekerja rata-rata sudah lebih 10-15 tahun.
Dalam hal ini perusahaan di duga sengaja melakukan PHK sebelum lebaran dan terkesan sengaja menghilangkan hak-hak karyawan seperti Tunjangan Hari Raya (THR), padahal saat PHK terjadi sebulan lebih lagi sudah mau lebaran.
Perusahaan memutus hubungan kerja alasan tutup, namun tidak mengeluarkan hak-hak karyawan.
Berdasarkan peraturan yang ada, apabila terjadi PHK, pengusaha wajib membayar kompensasi yang besarannya sesuai dengan alasan PHK yang dijatuhkan. Adapun kompensasi tersebut berupa: uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan uang pisah, dengan ketentuan sebagai berikut:
Uang pesangon, diberikan dengan ketentuan :
masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;
masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Uang penghargaan masa kerja, diberikan dengan ketentuan :
masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Uang penggantian hak, berupa:
Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur, biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat pekerja diterima bekerja, hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Uang pisah yang besarannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama
Upaya Hukum Jika Terjadi PHK Sepihak
Negara tidak menghendaki adanya praktik perbudakan yang dilakukan oleh siapapun. Oleh sebab itu, PHK tidak boleh dilakukan secara sepihak dan harus dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu Oleh: Willa Wahyuni
Jika hasil perundingan yang sudah dilakukan tak menghasilkan persetujuan, maka perusahaan hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial, yang diatur di dalam Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
Pasal tersebut berbunyi, dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Bagi perusahaan atau pengusaha yang tetap melakukan PHK tanpa mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, maka wajib mempekerjakan kembali pekerja tersebut. Hal ini tertuang di dalam Pasal 155 ayat (1) yang berbunyi pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum .
Sebagaimana dijelaskan Pasal 170 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi, pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan PAsal 168, kecuali pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Apabila pekerja menolak atas putusan PHK, maka pekerja harus membuat surat penolakan disertai alasan paling lama 7 hari setelah diterimanya surat pemberitahuan PHK, lalu kemudian harus melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Korban PHK tanpa ada alasan, masih mempunyai kewajiban dan hak yang harus diperjuangkan, selain itu agar perusahaan tidak semena-mena melakukan PHK. Pekerja/buruh yang di PHK dapat melakukan perundingan untuk menyepakati uang pesangon atau permintaan untuk dipekerjakan kembali.
Pekerja juga dilindungi mengenai perlindungan hukum mengenai PHK yang tertuang di dalam Pasal 153 UU Cipta Kerja yang bertujuan untuk terpenuhinya hak dasar para pekerja dan menjamin keselarasan kesepakatan serta perlakuan tanpa adanya suatu diskriminasi.
Namun, apabila pengusaha tidak dapat menghindari PHK terhadap pekerja, maka pengusaha membuat surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/buruh paling lama 14 hari kerja sebelum PHK.
Bila PHK dilakukan dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan paling lama 7 hari kerja sebelum PHK. Jika pengusaha dan pekerja menyepakati hasil PHK berdasarkan musyawarah mufakat, maka wajib didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri.
Dasar hukum bisa dipidananya pemberi kerja atau owner bisa dilihat dalam Pasal 185 ayat 1 tersebut dinyatakan bahwa bila pengusaha tidak menjalankan kewajiban itu, mereka diancam sanksi pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta .
Lebih lanjut di dalam pasal 185 ayat 2 menegaskan kembali tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. Berikut bunyi 185 ayat 1:
“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
Berikut pasal 185 ayat 2:
“Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan”.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan apabila pengusaha atau owner tidak membayarkan pesangon sesuai analisis dan dasar hukum dari paparan di atas perbuatan perusahaan atau owner tidak membayarkan pesangon merupakan tindakan kejahatan dan ancaman hukumannya paling lama 4 tahun. (Red)
Sumber : Kuasa hukum karyawan NBS & Partners Law Firm Pimpinan Nofriyansyah,SH.,C.Med
Editor : Redaksi 3k3.co.id Group/Pesisirnasional.com