PesisirNasional.com – Kota Solo memang sering mendapatkan julukan 'daerah merah' sejak zaman revolusi. Istilah yang identik dengan basis kelompok atau partai kiri, khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Menjelang pecahnya Gerakan 30 September/PKI, atau sering disingkat G30S/PKI, banyak peristiwa mengerikan terjadi.
Ketika enam perwira tinggi dan seorang perwira menengah TNI Angkatan Darat beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta di Jakarta dan Yogyakarta, d isaat bersamaan peristiwa penculikan dan tindak kekejaman lainnya juga terjadi di Kota Bengawan.
Kekejaman kaum komunis dan suasana mencekam itu turut dialami saksi hidup asal Kota Solo, Heri Isranto (66). Warga Jalan Honggowongso, Kelurahan Panularan, Laweyan, Solo yang saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD Kemasan).
Tempat tinggal orang tua pria yang akrab disapa Gogor, memang berseberangan dengan markas partai berlambang palu arit itu. Sehingga hampir setiap peristiwa yang terjadi selalu dilihatnya.
“Sampai sekarang masih terekam jelas dalam ingatan saya. Hampir setiap hari di seberang rumah saya itu terjadi insiden pas mau meletusnya (G30S/PKI),” ujar Gogor saat ditemui merdeka.com, Senin (27/9).
Gogor yang saat ini aktif menjadi pengurus NPC (National Paralympic Committee) Indonesia itu mengaku sempat menerima ancaman kekejaman PKI, akibat keusilannya. Suatu sore seusai peristiwa di Jakarta dan Yogyakarta, ada segerombolan orang berbadan besar dan bertato dengan wajah menyeramkan di depan rumahnya.
Melihat kedatangan orang-orang tersebut, ia pun penasaran dan ingin mengetahui asal-usul mereka. Apalagi wilayah tersebut adalah halaman depan kakek dan orang tuanya.
“Setelah saya melihat orang-orang itu, salah satu orang memegang ketiaknya dan dioleskan ke hidung saya. Sambil berkata 'hai masuk, minggat kamu',” katanya.
“Naluri saya sebagai anak kolong (anak tentara), spontan orang itu saya tendang. Dia marah dan mengejar saya,” katanya lagi.
Namun beruntung Gogor kecil diselamatkan oleh tetangganya dan berhasil masuk ke rumah. Seorang tetangga menyampaikan kepada anggota PKI tersebut agar tidak mengganggunya. Karena Heri Gogor adalah cucu 'ndoro' (ningrat). Namun pria tersebut justru semakin marah dan mengancamnya.
“Ndoro-ndoro apa, enggak ada ndoro. Kamu saya sate, tak panggang kamu,” ucap Heri menirukan orang tersebut.
Gogor sejak kecil memang tinggal bersama tiga kakeknya. Yakni Mangku Suwiryo, Mangku Sunarto (partisipan PNI) serta Sudiyono (aktivis Muhammadyah).
“Markas mereka itu kalau sekarang istilahnya seperti DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PKI di Solo. Banyak sekali orangnya. Saya masih ingat DN Aidit (pemimpin senior PKI) sering datang ke sana,” katanya.
Heri Gogor menceritakan, ketiga kakeknya yang merupakan kakak adik itu memang berasal dari keluarga ningrat dan memiliki rumah di Jalan Honggowongso serta Masjid At Taqwa. Bangunan rumah dan lahan besar itu beserta masjid lantas diwakafkan dan menjadi SMA Al Islam 1 Solo yang terletak depan markas PKI Solo.
“Kebetulan kakek saya itu aktivis Muhammadyah dan berhadapan dengan rumah pribadi kiai Nahdatul Ulama (Kyai Firas),” katanya.
Tak hanya dirinya dan keluarga, Gogor juga sering melihat banyak orang yang dibawa ke markas PKI itu kemudian disiksa.
“Sering saya melihat orang dibawa masuk lalu terdengar suara dipukuli. Pokoknya benar-benar biadab,” kecamnya.
Selain melakukan penyiksaan, para antek komunis tersebut juga sering membuat bom molotov. “Saya masih ingat itu, mereka itu tanpa izin, bergerombol bikin molotov. Batu besar itu dinam (dianyam), kemudian botol dikasih minyak dengan sumbu panjang,” bebernya.
Dikatakannya, orang-orang yang sering berkumpul di markas PKI bukan warga sekitar. Namun yang pasti mereka anggota PKI dan berasal dari luar daerah.
Setelah pecah G30S, Gogor bersama keluarga pun bisa bernapas lega setelah pasukan Komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) yang sekarang menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) menyerbu markas PKI di Honggowongso, di awal Oktober 1965.
“Jadi pagi harinya markas PKI di depan rumah saya itu diobrak abrik sama RPKAD. Dan di situ sudah ada satu truk. Ada dua tetangga saya anggota PKI yang diminta senjatanya dan dibawa,” katanya lagi.
Menurut dia, saat itu operasi yang dilakukan RPKAD menumpas antek-antek komunis berlangsung sangat cepat.
“Setelah itu pagi harinya serangan balik ke markas DPC PKI itu. Seingat saya semua dimasukkan ke truk sampai habis, cepat sekali. Setelah itu semua sudah bersih,” jelasnya.
Usai peristiwa tersebut, terungkap juga dokumen-dokumen PKI di Solo. Salah satunya sempat membuat bulu kuduk berdiri, karena keluarganya masuk dalam rencana eksekusi PKI Solo.
“Setelah itu beberapa hari, terbongkar dokumen-dokumen PKI. Mereka akan mengeksekusi keluarga saya, H Sangidoe dan H Asngat, itu ada semua. Untung RPKAD cepat datang ke Solo,” tuturnya.
Dalam dokumen tersebut, lanjut Gogor, keluarganya sudah disiapkan lubang di Makam Bergola, Tipes.
“Sudah dibuatkan semacam lubang besar untuk keluarga saya. Kalau saat itu sudah dewasa mungkin saya takut. Sampai hari ini saya merinding kalau ingat,” katanya lagi.
Terbukti dokumennya PKI bahwa keluarga saya, (ayah dari pendiri Ormas Mega Bintang, Mudrick M Sangidoe) masuk dalam daftar eksekusi mereka dan dibuatkan lubang untuk mengubur semua,” ujar dia.
Keluarganya menjadi sasaran pembunuhan PKI karena ketiga kakeknya merupakan tokoh agama saat itu. Gogor menyebut pengalaman pahit itu menjadi cerita yang tidak bisa dilupakan, dan bersyukur ia bersama keluarga masih dilindungi Allah SWT.
“Harapan saya jangan sampai komunis itu tumbuh lagi di Indonesia. Itu sangat membahayakan, karena saya sudah ikut mengalami sendiri,” tutup Heri. [cob]
Sumber: Merdeka