PesisirNasional.com – Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Eddy OS Hiariej menegaskan bahwa persoalan overcrowding atau kepadatan kapasitas pada lembaga pemasyarakatan (lapas) bukanlah kesalahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM).
“Saya selalu mengatakan bahwa tidak ada kesalahan Kemenkum HAM soal overcrowding sekali lagi saya tegaskan tidak ada kesalahan Kemenkum HAM soal overcrowding,” kata Eddy saat webinar bertajuk “Memadamkan Kebakaran Lapas”, Selasa (22/9).
Sehingga, Eddy menjelaskan bahwa persoalan overcrowding lapas bisa terjadi, lantaran sistem peradilan pidana yang erat kaitannya kepada pemejaraan. Sedangkan posisi Kemenkum HAM hanyalah proses akhir ketika seseorang telah diputus oleh pengadilan untuk menjalani hukuman.
“Kemudian dia ditempatkan di lapas a misalnya, kita enggak bisa, tidak bisa KumHAM tidak bisa menolak. Menolak eksekusi dari jasa, kita ini tempat pembuangan akhir,” ujarnya.
“Jadi saudara saudara bisa bayangkan yang kena impact, yang kena dampak, yang kena imbas, adalah lapas tapi lapas itu tidak pernah dilibatkan dalam proses ajudikasi (proses penyelesaian sengketa). Lapas tidak pernah bisa melakukan intervensi terhadap sistem peradilan pidana dari awal,” lanjutnya.
Atas hal itu, Eddy mengkritik terhadap sistem pidana oleh para penegak hukum yang dekat dengan sistem pemidanaan penjara dengan belutat pada hukum pidana sebagai Lex Talionis sebagai sarana balas dendam.
“Dari awal nggak bisa karena itu saya katakan persoalan inti overcrowding itu ada satu kesalahan pada substansi Undang-undang. Yang kedua kedua adalah bekerjanya sistem peradilan Pidana yang memang sangat gemar sangat suka sangat senang memidana orang,” katanya.
Sebab, Eddy mengatakan bahwa permasalahan overcrowding di lapas harus dituntaskan dari hulunya yakni sistem pemidanaan. Karena suatu hal yang percuma ketika membangun lapas namun proses pemidanaan aparat penegak hukum tidak dibenahi.
“Tahu untuk membangun satu lapas dengan sistem pengamanan yang standar ya itu untuk lepasnya saja kita butuh Rp300 miliar, Rp300 miliar ya untuk satu lapas itu baru lepasnya. Belum apa namanya segala macam sistem yang harus ada di dalam lapas,” jelasnya.
Kemudian, Eddy mengimbau langkah utama yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah overcrowding di lapas yaitu, perubahan sistem dalam pemidanaan terutama pada adalah revisi undang-undang narkotika.
Dimana dalam undang-undang narkotika yang harus diubah adalah Pasal 127, karena seseorang yang pengguna maka seharusnya diikuti program rehabilitasi. Namun pada kenyataannya jaksa penuntut umum (JPU) malah kerap menggunakan pasal 112 yang berakhir pada pemidanaan.
Apalagi, Eddy pun membandingkan alasan perlunya revisi UU Narkotika. Karena kondisi lapas yang saat ini hampir mayoritas dipenuhi para narapidana penyalahgunaan, sementara untuk narapidana seperti korupsi maupun teroris jumlahnya tidak lebih dari 500 orang.
Sedangkan untuk kapasitas lapas di Indonesia hanya menampung sekitar 170 ribu narapidana. Sementara tercatat saat ini total seluruhnya narapidana berjumlah 360 ribu. Sementara dari total narapidana, terdapat sekitar 160 ribu narapidana terkait kasus narkotika.
“Kalau idealnya saja dia 170 ribu, misalnya 160 ribu sudah diisi narkotika sudah selesai tinggal 10 ribu untuk yang lain-lain. Dan lebih mencengangkan dari 160 ribu penghuni lapas sekitar 80% itu pengguna. Jadi ratusan ribu itu pengguna. Dan yang lebih miris lagi yang pengguna itu 80% di bawah 0,7 gram,” bebernya.
“Jadi keliru kalau over kapasitas itu yang dituding Kemenkumham. Ini orang belajar tidak sistem pradilan pidana. Hakim kan maindsetnya menghukum dan jaksa mau menuntut yang setinggi-tingginya. Tetapi dia tidak mau tahu di lapas sudah penuh atau tidak, dia tidak mau tahu,” lanjutnya.
Maka, Eddy menyarankan agar secepatnya dilakukan revisi untuk Undang-undang narkotika dan merevisi RUU KUHP dengan berorientasi pada sistem hukum modern. Sehingga permasalahan overcrowding bisa ditemukan jalan keluarnya. [eko]
Sumber: Merdeka