PesisirNasional.com –
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang gugatan uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait Aturan Syarat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang dianggap tidak menyediakan saluran pencalonan bagi masyarakat non partai politik.
Dalam persidangan Pada perkara Nomor 44/PUU-XIX/2021 yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra pada Senin (20/9) kemarin. Sejumlah Pemohon yang berasal dari LSM maupun perseorangan dengan diwakili oleh M. Yunan Lubis menyampaikan perbaikan permohonannya.
Dalam perbaikan ini, Yunan menyebutkan bahwa para Pemohon awalnya mendalilkan 18 pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Namun pada perbaikan ini, para Pemohon menyederhanakan pasal-pasal yang diujikan menjadi Pasal 223 ayat (1) UU Pemilu.
“Berdasarkan undang-undang ini, dengan tidak tersedianya saluran untuk hak konstitusi warga negara nonpartai politik, maka keberadaan hak tersebut menjadi tidak bermakna karena tidak bisa diimplementasikan untuk dipilih dalam pilpres dan itu hanya jadi norma yang mati,” kata Yunan saat sidang, seperti dikutip pada website MK, Selasa (21/9).
Dimana dalam Pasal 223 ayat (1) UU Pemilu turut berbunyi, Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan.
Atas pasal tersebut, para pemohon menilai sebagai warga negara seharusnya pihaknya memiliki hak konstitusi untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum termasuk dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, terlepas dari partai politik.
“Sampai sejauh ini kami tidak melihat adanya ketentuan atau norma di dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang bisa menjadi saluran untuk mengalirkan hak konstitusi rakyat tersebut,” ujarnya.
Pasalnya pada norma tersebut hak konstitusi untuk dipilih hanya mungkin bagi kelompok partai politik, sedangkan bagi rakyat yang bukan kelompok partai politik tidak terdapat norma yang mengaturnya. Akibatnya, para Pemohon berpotensi kehilangan peluang untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, para Pemohon juga berpandangan bahwa hak konstitusional warga negara untuk dipilih menjadi presiden dan wakil presiden yang ada pada UU 7/2017 tersebut, hanya memuat hak konstitusi dari sebagian rakyat yang tergabung dalam kelompok partai politik.
Padahal, MK dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 dan Nomor 102/PUU-VII/2009 menyatakan setiap rakyat warga negara Indonesia mempunyai hak konstitusi untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Atas pendapat tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan telah menerima seluruh pendapat pemohon untuk nantinya menjadi pembahasan kepada sembilan hakim konstitusi yang akan memutuskan hasilnya, pada sidang selanjutnya.
“Nanti permohonan saudara ini akan kami sampaikan, kepada sembilan hakim konstitusi di dalam rapat permusyawaratan hakim termasuk kami juga. Dan rapat permusyawaratan hakim lah yang akan merumuskan nasib permohonan ini apakah diputus untuk dibawa ke pleno atau diputus setelah ada pleno,” ujarnya.
“Tugas kami hanya menyampaikan bahwa ini ada permohonan nomor 44 berkaitan dengan isu siapa yang berhak mencalonkan diri sebagai calon presiden. Ini sudah berkali-kali diuji, dan bapak harus bisa jelaskan apakah ini bisa diteruskan dengan alasan,” lanjutnya. [eko]
Sumber: Merdeka