PesisirNasional.com – Pengurus Cabang Perkumpulan Senior (PCPS) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Jayapura, mengutuk keras terhadap tindakan yang tak berperikemanusiaan terhadap para pejuang kesehatan di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang.Seorang tenaga kesehatan gugur setelah penyerangan dilakukan KST di Distrik Kiwirok.
KST secara membabi buta menyerang fasilitas umum termasuk puskesmas. Para tenaga kesehatan yang ketakutan kemudian melarikan diri. Mereka melompat ke jurang hingga salah satunya meregang nyawa.
“Kami menolak tindakan yang dilakukan kelompok KKB, terutama peristiwa yang terjadi dan terakhir di Distrik Kiriwok, Pegunungan Bintang sehingga membuat keprihatinan kita semua. Kita kutuk keras bahwa apa yang dilakukan ini, menyangkut kehidupan manusia yang mana tidak sesuai dengan hukum agama, pemerintah dan hukum internasional,” kata Ketua PCPS GMKI Jayapura, Benyamin Arisoy, didampingi Sekretaris PCPS GMKI Jayapura, Christian L Sohilait, dalam pers conference di Jayapura, kepada merdeka.com, di Jayapura, Rabu (22/9).
“Untuk itu, PCPS GMKI Jayapura menyatakan sikap atas kekerasan dan pembunuhan terhadap para nakes di Distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang tersebut.”
Menyikapi terus terjadinya kekerasan di Tanah Papua antara aparat keamanan dan KKB atau apapun namanya, yang berdampak terhadap imunitas hak hidup warga masyarakat sipil, baik Orang Asli Papua (OAP) maupun dari berbagai entitas suku bangsa lainnya, maka PCPS GKMI Jayapura dalam repleksi iman Kristiani ada tujuh poin pernyataan sikap terkait hal itu.
Pertama, kata Benny Arisoy, sapaan akrabnya, dalam prespektif Alkitabiah, tindakan merusak dan membakar sarana umum, kekerasan, membunuh atau menghilangkan nyawa manusia ciptaan Tuhan langit dan bumi, dengan alasan dan dalil apapun, dan oleh siapapun, adalah perbuatan dosa dan melanggar Firman Allah.
Kedua, pembunuhan terhadap pendeta, pekerja pembangunan infrastruktur jalan dan nakes yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Pegunungan Bintang adalah perbuatan yang melanggar Hak-Hak Asasi Manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Tahun 1948 dan terutama kekerasan serta pembunuhan Nakes di wilayah Konflik atau wilayah perang telah nyata-nyata melanggar Konvensi Jenewa I Tahun 1949.
Ketiga, lanjutnya, usaha atau perjuangan untuk memperoleh kebebasan dari kungkungan politik, diskrimisasi, rasisme dan ketidakadilan, tidak akan dapat diselesaikan dengan kekerasan dan pembuhunan, karena akan melahirkan kekerasan dan pembunuhan yang satu ke kekerasan dan pembunuhan yang lainnya dan tak akan berkesudahan bahkan mendatangkan kutuk.
Lebih lanjut, keempat yakni penindakan dan penegakan hukum terhadap KKB oleh Aparat Keamanan Negara demi keamanan, penegakan hukum dan kedaulatan Negara, melalui pengerahan aparat keamanan pada wilayah konflik dan konfrontasi, harus terukur dengan memperhatikan Hak-Hak Asasi Manusia serta perlindungan kepada warga masyarakat sipil yang tidak terkait dengan permasalahan konflik sehingga tidak terjadi teror ketakutan yang menciptakan ingatan penderitaan (memoriapassionis).
Kelima, proses penyelesaian konflik antara kedua belah pihak yang berkonflik harus mengedepankan cara-cara yang beradab dan humaniter untuk mencari solusi dan menciptakan rekonsiliasi melalui jalur komunikasi verbal, dialog dan diplomasi, baik secara vertical, horizontal dan diagonal dalam tataran nasional maupun Internasional.
“Keenam, meminta kepada pihak yang berkonfrontasi, baik dari Aparat Keamanan maupun pihak KKB, untuk sementara dapat menahan diri serta melakukan genjatan senjata dan tidak saling menyerang sehingga menghindari jatuhnya korban-korban kekerasan baru, sambil kedua belah pihak yang berkonflik dapat membuka diri untuk membangun komunikasi dan dialog,” ujar dia.
Ketujuh, PCPS GMKI Jayapura meminta Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah
Papua harus pro aktif mendorong dan mencari jalan (Road Map) untuk penyelesaian akar masalah yang terjadi di Tanah Papua, dengan melibatkan parapihak (stakeholders) yang berkepentingan, yaitu pihak Gereja, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat bersama para pihak yang berkonflik, dengan mengedepankan niat dan keinginan baik serta mengesampingkan kecurigaan dan ketidakpercayaan secara berlebihan yang bisa berakibat terjadinya kondisi stagnan dan under estimate dalam proses penyelesaian konflik kekerasan dan pembunuhan.
“Pernyataan sikap ini didasari oleh pemahaman bahwa pirinsip-prinsip hidup humaniter dalam perkembangan peradaban manusia harus mendapatkan tempat yang prioritas dalam proses kehidupan manusia dari waktu ke waktu sesuai dengan ajaran agama, kepercayaan dan budaya luhur yang menjadi Way of Life setiap insan manusia selaku ciptaan sempurna Tuhan Yang Maha Esa,” kata dia.
PCPS GMKI Jayapura juga mendorong dan meminta kepada semua pihak untuk menjadikan Tanah Papua, yang juga adalah Tanah Injil, sebagai ‘Tanah Damai’ dalam kerangka perwujudnyataan ‘Kerajaan Allah’ yang mengamanatkan visi ‘Damai di Sorga dan Damai di Bumi’.
Dia menambahkan, dengan mengikuti perkembangan dan mendalami terjadinya aksi kekerasan yang terus berlanjut di Tanah Papua, sejak tahun 1962 sampai dengan terbunuhnya Pdt Yeremia Zanambani di Intan Jaya, pembunuhan para pekerja pembangunan infrastruktur jalan di Yahukimo dan yang terakhir pengrusakan dan pembakaran Puskesmas serta kekerasan maupun pembunuhan Nakes di Kiwirok, Pegunungan Bintang, maka PCPS GMKI Jayapura sangat prehatin.
“PCPS GMKI Jayapura melalui kajian dan refleksi iman, dengan ini menyatakan keprihatinannya dan turut berdukacita yang mendalam atas pembunuhan pendeta, terbunuhnya pekerja pembangunan infrastruktur jalan serta kekerasan dan pembunuhan nakes,” pungkasnya. [gil]
Sumber: Merdeka